JENIS KELAMIN BAYI TIDAK TERGANTUNG PADA POSISI
Dikirim oleh Evariny A. untuk Fertility Informasi Umum Mau anak laki-laki, miringlah ke kanan saat berhubungan intim. Mau anak perempuan, miring ke kiri. Ah, itu, kan cuma mitos. Jadi, bagaimana yang benar?
“Anaknya berapa, Bu?” “Sudah dua.” “Wah, pas, dong, sesuai KB.” “Ah, tapi saya masih mau nambah. Soalnya anak saya laki-laki semua.”
Pameo anak laki-laki dan perempuan sama saja, rupanya masih belum berlaku mutlak. Kenyataannya, dalam sebuah keluarga masihlah belum lengkap jika semua anaknya lelaki atau perempuan. Keinginan untuk menambah anak dengan alasan demikian masih dapat kita jumpai di mana-mana. Dan bukan tidak mungkin keinginan menambah itu terus berulang karena jenis kelamin anak yang diharapkan tak muncul-muncul, kendati sudah beranak empat atau lima.
Ditambah lagi adat dan budaya masyarakat yang masih membedakan anak berdasarkan jenis kelamin. Misalnya saja pada masyarakat yang menganut paham patrilineal. Anak laki-laki jelas menjadi dambaan karena diharapkan bisa meneruskan garis keturunan. Sebaliknya, masyarakat dengan paham matrilineal, anak perempuanlah yang paling diharapkan kelahirannya.
“Yang menyedihkan, seringkali kaum ibulah yang disalahkan jika melahirkan anak yang tidak sesuai dengan harapan,” tutur Prof. dr. H. Arjatmo Tjokronegoro, Ph.D., ahli andrologi dan guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Wanita seperti itu dianggap tidak bisa memberi keturunan yang diharapkan. Tak heran kondisi ini dijadikan alasan oleh para suami untuk mendapatkan istri baru. Dengan satu harapan, memperoleh anak dengan jenis kelamin sesuai keinginan.
ANEKA MITOS
Beberapa mitos yang berlaku di lingkungan masyarakat masih dijadikan acuan dalam soal penentuan jenis kelamin. Misalnya saja ada teori jatuh cinta. Siapa yang jatuh cinta lebih dulu, maka jenis kelamin anak akan mengikutinya. Dengan kata lain, anak pertama bakal lahir laki-laki karena saat pacaran, ayahnya yang jatuh cinta lebih dulu. Sebaliknya, jika ibu jatuh cinta lebih dulu, akan memperoleh anak pertama dengan jenis kelamin perempuan.
Ada juga yang mengaitkannya dengan makanan yang dikonsumsi calon ibu. Jika anak perempuan yang diharapkan, maka calon ibu dianjurkan untuk makan makanan yang enak-enak. Kalau berharap dapat anak lelaki, calon ibu harus diet dengan mengkonsumsi makanan yang kaya protein tetapi rendah karbohidrat. Bahkan, masyarakat Jepang percaya bahwa jenis kelamin anak yang bakal lahir bisa diramal dari rambut di kuduk anak sebelumnya. Jika rambut di kuduknya menyebar, maka anak berikutnya laki-laki. Tapi bila rambut kuduk menyatu maka anak berikutnya perempuan.
Sementara itu, ada pula yang percaya, jika si wanita mengandung anak perempuan, wajahnya terlihat pucat tetapi rajin berdandan. Bentuk perutnya pun mirip telur dan condong ke bawah. Sedangkan bentuk perut yang menonjol ke atas, bayinya laki-laki.
Posisi saat berhubungan intim, juga disebut-sebut berpengaruh pada jenis kelamin anak. Calon ibu miring ke kanan untuk memperoleh bayi laki-laki, miring ke kiri untuk mendapatkan bayi perempuan.
Yang sampai saat ini masih bertahan adalah pendapat bahwa kondisi pria menjadi penentu jenis kelamin anak. Bila suami dalam kondisi lebih prima, lebih kuat, jantan, akan memperoleh anak laki-laki. Istri pun dianjurkan untuk mencapai puncak lebih dulu sebab pembuahan yang terjadi di awal hubungan masih tampak segar, maka yang lebih dominan adalah kromosom Y yang gesit. Jika pembuahan tanpa puncak dari pihak wanita maka lajunya pun akan lebih lambat. Akibatnya, yang dominan adalah kromosom X.
CATAT SUHU TUBUH
Teori-teori atau mitos-mitos yang berlaku pada masyarakat menggelitik para ahli untuk menyelidiki lebih jauh. Pada kenyataannya pun, sudah lama sekali mereka meneliti, bagaimana sampai terjadi anak laki-laki dan perempuan. Bahkan, penelitian ini sudah sampai pada bagaimana mengendalikan jenis kelamin.
“Yang patut diketahui, faktor penentu jenis kelamin anak ditentukan pada saat pembuahan terjadi,” ungkap Prof. Arjatmo. Yang paling “bertanggung jawab” dalam hal ini adalah sperma ayah. Maksudnya, sperma ayah inilah yang akan menentukan apakah anaknya menjadi laki-laki atau perempuan.
Seperti sudah kita ketahui, laki-laki memiliki dua kromosom kelamin yang berbeda, yaitu kromosom XY. Sedangkan wanita memiliki dua kromosom yang sama, yaitu kromosom XX. Karena itulah laki-laki memiliki sperma-sperma X dan sperma-sperma Y, dengan jumlah yang sama. Sedangkan semua sel telur wanita adalah kromosom-kromosom X.
Yang terjadi kemudian adalah jika sperma X membuahi sel telur wanita, maka bayi perempuan (XX) yang diperoleh. Sedangkan jika sel telur dibuahi oleh sperma Y, maka bayi laki-laki (XY) yang diperoleh.
FAKTOR PENENTU
Yang dipertanyakan lebih jauh, apakah terjadinya bayi laki-laki atau perempuan terjadi berdasarkan kebetulan semata? Maksudnya, apakah pertemuan sperma X dan sperma Y, atau sperma X dengan sperma Y, terjadi begitu saja?
Hasil penelitian menunjukkan, masing-masing kromosom memiliki karakter dan struktur yang unik. Sperma Y bersinar terang, bentuknya bundar, ukurannya hanya sepertiga dari kromosom X, jalannya gesit, tetapi lebih cepat musnah. Sedangkan sperma X bentuknya panjang, besar, jalannya lamban, dan bertahan hidup lebih lama.
Hal tersebut dikaitkan dengan kondisi wanita di antara dua periode menstruasi. Pada masa subur wanita, sebuah sel telur yang sudah masak meninggalkan indung telur (ovulasi). Sel ini hanya bisa dibuahi hanya dalam jangka waktu 12 jam.
Apakah anak yang dihasilkan perempuan atau laki-laki tergantung pada sperma mana yang dalam waktu dua belas jam berhasil bertemu dengan sel telur wanita. Kalau sperma X yang lebih dulu bertemu dengan sel telur, maka terbentuk bayi perempuan. Kalau sperma Y yang lebih dulu bertemu dengan sel telur maka yang terbentuk bayi laki-laki.
Apabila pasangan suami-istri melakukan hubungan intim saat terjadi ovulasi, kemungkinan besar bayi yang bakal lahir laki-laki. Sebab, ketika sperma X dan sperma Y berlomba-lomba berusaha mencapai sel telur, sperma Y yang jauh lebih gesit akan bertemu sel telur lebih dulu.
Sebaliknya jika hubungan intim dilakukan sebelum tiba ovulasi, kemungkinan bayinya perempuan. Karena sperma sudah lebih dulu ada sebelum sel telur dilepaskan. Maka sperma X mempunyai peluang lebih besar, karena bisa bertahan hidup lebih lama. Sedangkan sperma Y sudah musnah sebelum terjadi ovulasi.
Tentu saja metode ini pun masih sulit dipertahankan kebenarannya. Karena bagaimana suami bisa menghitung dengan tepat bahwa sperma X yang akan mencapai sel telur, atau sebaliknya.
Untuk mengetahui lebih akurat kapan saat ovulasi, seorang wanita harus mengukur suhu tubuhnya selama tiga bulan berturut-turut. Caranya, letakkan termometer di mulut setiap pagi sebelum turun dari tempat tidur. Hasilnya dicatat dalam sebuah tabel. Hari-hari di mana termometer menunjukkan suhu tubuh yang terus meningkat selama beberapa hari merupakan saat terjadi ovulasi.
INSEMINASI BUATAN
Metode di atas kemudian berkembang lagi dengan inseminasi buatan. Sebelum pembuahan, sperma yang dihasilkan dari masturbasi atau coitus interuptus, dipisahkan di laboratorium. Sperma ini kemudian dimasukkan ke dalam tabung khusus yang sudah diisi dengan tiga lapisan serum albumin dengan kadar kekentalan yang berbeda. Serum albumin adalah salah satu unsur dari darah manusia.
Perlahan-lahan sperma Y yang lebih cepat dan gesit akan mencapai lapisan paling bawah. Sedangkan sperma X akan mencapai lapisan tengah, karena gerakannya lebih lamban. Lalu, sperma yang menempati lapisan paling bawah (sperma Y) disedot keluar. “Sperma yang mencapai lapisan ini merupakan kualitas unggul,” ujar Prof. Arjatmo.
Sementara untuk memisahkan sperma-sperma X digunakan tabung dengan lubang kecil yang digantungkan di atas alat penampung dan diisi dengan cairan kental (gel). Sperma Y akan tertahan karena ketegangan permukaan. Sperma X yang lebih berat dan besar berusaha menembus cairan kental itu menuju tempat penampungan.
Usai pemisahan, sperma-sperma itu akan disuntikkan ke dalam rahim. Bertepatan dengan saat terjadi ovulasi, yang sudah diperkirakan oleh dokter. Proses pemisahan dilakukan oleh ahli andrologi, sedangkan penyuntikannya dilakukan oleh dokter kandungan.
Proses dari pemisahan sampai kemudian disuntikkan ke dalam rahim, hanya berlangsung selama 1,5 – 2 jam saja. “Sangat cepat, karena harus memperhitungkan mutu sperma,” jelas Prof. Arjatmo yang juga berpraktek di RSB Budhi Jaya ini.
Sebagai catatan, sperma hanya bertahan hidup di luar selama 4-5 jam saja. Sedangkan jika terjadi pembuahan alamiah, sperma mampu bertahan hidup selama 10 jam di dalam rahim wanita.
Sayangnya metode ini pun tak menjamin keberhasilan mutlak. Hanya memberi jaminan keberhasilan 80 persen untuk bayi laki-laki dan 70 persen untuk bayi perempuan.
Nah, buat pasangan yang memang menginginkan pengendalian jenis kelamin anak, bisa berkonsultasi dengan ahli andrologi yang umumnya dimiliki rumah sakit bersalin. Untuk lebih jelasnya Anda bisa menanyakan hal ini kepada dokter kandungan yang menangani Anda. Setidaknya, dengan perencanaan yang matang, apa yang menjadi harapan suami-istri bisa terwujud.
Tentu saja ketidakberhasilan tidak harus berakhir dengan saling menyalahkan. Toh, manusia hanya boleh merencanakan tetapi Tuhanlah yang menentukan.
Source : Tabloid Nakita
0 komentar